Cerita Islami Kado Pernikahan


Kado Pernikahan


Siang tadi ia ditemui Hafiz, seseorang yang dianggapnya kekasih hati semenjak dua tahun lalu. Hafiz tak lain ialah abang tingkatnya di kampus. Hanya jeda setahun jenjang pendidikan mereka. Dan beberapa bulan lalu, Hafiz telah purnabelajar di jenjang sarjana. Sementara Husna masih bertitel mahasiswi tingkat akhir. Ia masih berkutat dengan skripsi.Suara petir memecah keheningan malam. Hujan yang kadang lebat kadang gerimis sedari petang tak lelah menghujam bumi sampai hampir tengah malam. Husna masih dalam alam sadarnya. Kantuk tak juga menghinggapinya. Matanya tak mau dipaksa pejam. Ia masih memikirkan hal yang membuatnya bimbang.
Pertemuan Husna dengan Hafiz membahas sesuatu yang serius. Hafiz ingin menikahi Husna. Tak pelak, hal ini menciptakan Husna kaget. Dari ucapan dan klarifikasi Hafiz, terang ia tak sekadar bercanda. Hal itu ialah bukti keseriusan Hafiz pada Husna. Husna tak banyak berkata, ia hanya membisu dengan segala kebimbangan. Sementara Hafiz dengan penuh pengertian memberi kebebasan Husna untuk menjawabnya kapan pun.
Husna teringat apa yang dikatakan ibunya seminggu yang lalu.
“Nduk, kau sudah dewasa, sudah pantas berumah tangga” kata ibunya.
“Ah..Bu...Husna kan masih kuliah. Husna pengin lulus jadi sarjana dulu”
“Ya memang, tapi kau itu anak Ibu terakhir yang belum menikah, apalagi bapakmu sudah tiada. Ibu ingin segera melihatmu menikah dan berumah tangga menyerupai kakak-kakakmu. Sebentar lagi kau juga lulus to?”
“Benar Bu, Husna tinggal skripsi saja. Tapi kan Husna belum berpikiran untuk cepat berumah tangga”
Lha makanya cepat dipikirkan. Itu Hafiz tampaknya juga sudah matang untuk berumah tangga”
“Mas Hafiz gres saja lulus Bu, ia belum punya pekerjaan tetap.”
“Nduk, kalau menikah itu diniati sebagai ibadah, maka rezeki akan dipermudah oleh Allah. Ibumu ini sudah tua, Husna”
Saat itu, Husna hanya membisu mendengar yang dikatakan ibunya. Ia begitu meresapi dan merenungi pernyataan ibunya di selesai pembicaraan itu.
Di malam ini, Husna kembali merenungi apa yang dikatakan ibunya dan Hafiz. Semua arahnya sama, yakni pernikahan. Sebenarnya ia tak menolak untuk menikah, tapi bahwasanya ia ingin lulus dulu dan mandiri. Ia juga mempertimbangkan kalau Hafiz belum memiliki pekerjaan yang tetap. Barangkali Hafiz setidaknya sudah memiliki penghasilan sebagai penulis freelance, tapi itu tidak niscaya alasannya ialah hanya freelance. Husna tidak materialistik, tapi ia ingin semuanya siap lahir batin.
Sementara skripsi Husna masih terbengkalai. Ia sudah melaksanakan observasi dan penelitian. Namun, penulisan bab-bab awal skripsinya terkendala oleh dosen pembimbing yang sangat sulit ditemui untuk diajak konsultasi. Terkadang malah dosennya selalu mencari kesalahan-kesalahan kecil dan berulang-ulang sehingga memperlambat proses penulisannya.
Husna benar-benar bimbang. Ia semakin tak mencicipi kantuk akhir dari pikirannya. Tiba-tiba ada yang memecah lamunannya. Ponselnya berdering tanda ada panggilan masuk. Ia membaca nama di layar, “Aa Hafiz”.
“Assalamualaikum” terdengar bunyi Hafiz dari ponsel.
“Waalaikumsalam” jawab Husna
“Belum tidur Dik?”
“Belum Mas, masih bimbang soal tadi siang”
“Maaf jikalau itu membebani Dik Husna, Mas juga tak memaksa Adik. Kan orangtua Adik juga belum tahu”
Nggak apa-apa Mas, kalau Ibuku, Beliau malah menasihati Adik untuk segera menikah dengan Mas Hafiz”
“Syukurlah kalau Beliau merestui. Baiklah, untuk memantapkan hati. Mari salat istikarah dan berdoa semoga hati kita damai dan menerima petunjuk dari Allah”
***
Sebulan berlalu, Husna memutuskan mendapatkan pinangan Hafiz. Hati Husna mantap untuk menikah dengannya. Selain untuk membahagiakan orangtuanya, Husna ingin menjalani ijab kabul sebagai suatu ibadah. Ia berjanji akan selalu setia terhadap Hafiz. Begitu juga dengan Hafiz. Ia berjanji akan menjadi imam yang baik bagi Husna.
Setelah menikah, Husna dan Hafiz tinggal di rumah Ibu Husna. Hafiz bertindak sebagai kepala rumah tangga menggantikan ayah Husna yang sudah tiada. Tampak kebahagiaan menyelimuti mereka. Dan menyerupai telah diskenario Tuhan, Hafiz akan segera memiliki pekerjaan tetap alasannya ialah tak selang usang sesudah menikah, ia lolos di perekrutan CPNS di kota daerah ia tinggal. Berkah juga tak lari dari Husna. Entah mengapa sesudah ia menikah dengan Hafiz, proses penyelesaian skripsinya terasa diperlancar. Dosen pembimbing yang dulunya sulitnya minta ampun, sekarang gampang ditemui dan mempermudah legalisasi skripsi. Tak berselang lama, ujian pendadaran pun sudah di depan mata Husna.
Alhamdulillah, semua lancar menyerupai yang kita inginkan Mas,” ucap Husna di pelukan Hafiz menjelang tidur.
“Iya Dik, semua ini nikmat dari Allah yang wajib kita syukuri dan merupakan kado ijab kabul kita”
“Amin. Dan memang benar kata Ibu Mas,” nada Husna agak menggantung.
“Apa kata Ibu?” tanya Hafiz penasaran.
“Kalau menikah diniati sebagai ibadah, maka rezeki akan dipermudah oleh Allah,” ujar Husna dengan senyum manis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

20 Soal Melengkapi Pantun – Kisi-Kisi Us/M Sd/Mi

Cerita Ilustrasi Peribahasa Sambil Menyelam Minum Air

Soal Menyusun Kalimat Menjadi Paragraf Yang Padu