Poem

Ingatan Sebuah Rumah lama
kabarmu jauh lepas
di antara pandangan mata yang kamu lihat di cermin
uban-uban putih
menggigilkan pagi kita yang buta
suara
kita jadi batu-batu
berserakan dalam masa yang purba
sedang saya kamu masih mengingat
jalan-jalan setapak yang pernah dilalui
menjelma jalan-jalan ibu kota tak pernah tidur
asap-asap tak pernah berhenti
menggempur belahan napas sudut kota
gerimis tipis seolah tangis teduh air mata
banjir memenuhi rumah lama
kau tata bangku meja yang patah di pelataran senja
lukisan-lukisan dengan cat mengelupas
satu-satunya harta rumah lama
dan hanya jejak-jejak di jalan setapak
jalan pulang ke rumah itu
aku yang melupa
kau yang tidur
tak ingat lagi
jejak-jejak hilang
terhapus ruang kota yang beringas
Solo, 02’05’09.


Kabar Kawan Lama

Kita saling berkabar wacana rumah-rumah kampung yang tak lagi memiliki halaman daerah kita bermain dahulu
Suara-suara jangkrik di tengah malam yang menandai perburuan kita di masa lampau hilang berganti lagu-lagu dengan tangga nada dan birama yang tak kita ketahui
Nyanyian burung hantu dan kepakan kelelawar di malam hari menjadi sebuah kesunyian yang mati
Kita mulai bercerita sehabis usang berpisah dengan gejala yang panjang di kalender kehidupan
Angka-angka yang menghitung usia kita berbaris rapi menjadi sebuah bayangan yang mengikuti kita dari belakang
Musim selalu berganti seolah tak ada jeda untuk mereka
Jalan setapak yang menandai jejak kaki kita di ekspresi dominan yang kemudian hanya menjadi sebuah pondasi jalan raya yang mulai berlubang tertusuk hujan yang tak lagi gerimis
Hujan menyimpan beratus-ratus kenangan yang menciptakan badan kita lembap kuyup
Di antara baris hujan yang menjadi gerimis kita tak lagi mendengar nyanyian katak sehabis merayakan pesta persenggamaan di tepi kali dan kolam
Entah sudah berapa usang mereka bermigrasi sebab kampung kita sudah tak nyaman untuk daerah mereka beranak-pinak.
Kita yang mulai bosan pada jelaga asap mesin-mesin tak bisa berbicara dengan dongeng-dongeng masa lampau yang menciptakan kita pernah bahagia
Hanya tersisa belum dewasa kita yang tak lagi mengenal ekspresi dominan tanam dan amis lumpur yang begitu harum.
Solo, 17’05’09

Tubuh Batu
aku badan watu yang bersembunyi di antara pasir kali
air meresap membasahi telanjang tubuhku yang kedinginan
selalu sembunyi terhadap sebuah kenyataan bahwa tubuhku ialah batu
banjir menenggelamkanku pada suatu ruang yang ganjil
potongan tubuhku terhempas ke sebuah arah yang absurd
Tak lagi sanggup berucap walau sepatah kata
Aku menjadi sunyi
Seperti tubuhku yang keras
Aku tak lagi mendengar
Jeritan riak air yang membawaku lepas ke dalam labirin pekat
Lumpur-lumpur menyeret pasir dan membenamkan tubuhku
Entah ke dalam dunia antah berantah
Menjadikanku sebuah badan watu yang tak lagi sanggup berkata atau mendengar
Barangkali kebekuan dan kesunyian
adalah daerah terindah bagi tubuhku yang kaku
Solo, 17’05’09

Komentar

Postingan populer dari blog ini

20 Soal Melengkapi Pantun – Kisi-Kisi Us/M Sd/Mi

Cerita Ilustrasi Peribahasa Sambil Menyelam Minum Air

Soal Menyusun Kalimat Menjadi Paragraf Yang Padu